Saya, Keluarga, dan Indonesia
Saya, anak kedua
dari tiga bersaudara. Anak yang memiliki hobi yang beragam. Mempunyai kakak
laki-laki dan adik perempuan, mungkin bisa dibilang lengkap hidup saya,
memiliki kakak sebagai acuan dan memiliki adik sebagai orang yang harus dijaga.
Namun terlepas dari itu, saya memiliki kewajiban yang implisit, membanggakan
orangtua dan keluarga. Dalam keseharian, sewaktu SMA, saya terbiasa untuk
mengantar ibu dan adik semenjak bapak pindah tugas ke Jakarta. Dari perjalanan hidup
sampai saat ini, menciptakan motivasi untuk terus mengejar suatu cita-cita yang
muncul karena perjalanan itu sendiri.
Bagi keluarga,
tentunya seorang anak yang memang mengenalkan arti dari menghargai dan
berterima kasih akan tahu apa yang harus dilakukan nanti. Orangtua yang telah
bersusah payah membesarkan kita, selayaknya mendapatkan timbal balik, walaupun
tidak diminta. Orangtua yang memiliki latar belakang pendidikan baik,
menjadikan mereka pun mendidik anak-anaknya dengan baik. Mereka tahu kapan
harus tegas dan tenang, dalam mendidik. Pendidikan tidak selalu tentang formal,
nonformal dan informal tentunya saya dapatkan. Pendidikan secara menyeluruh
yang diterima baik, itu berarti kewajiban saya untuk menunjukkan output pribadi yang baik. Menjadi “orang”,
memiliki derajat kemanusiaan tinggi. Menjalani pendidikan formal menjadi salah
satu hal wajib untuk menciptakan output
pribadi itu sendiri, walaupun tidak menjamin. Pendidikan nonformal dan informal
baik harus diciptakan pada lingkungan baik pula, walaupun perspektif baik itu
dapat berbeda, tapi setidaknya kita memiliki norma dan agama sebagai standar
baik itu.
Bagi keluarga, saya
harus menjadi “orang”, memiliki derajat kemanusiaan tinggi. Harus benar
menjalani pendidikan formal, nonformal, dan informal. Bersekolah setinggi
mungkin, mencari ilmu yang tidak diajarkan di pendidikan formal, bergaul dan
berperilaku dengan baik. Dengan tercapainya itu semua, tentunya akan memberikan
timbal balik yang baik. Membanggakan orangtua dan keluarga. Tinggi dalam
intelektual, emosional, dan spiritual. Salah satu pendidikan formal yang
tentunya akan menunjang 3 aspek itu, yaitu bangku perkuliahan. Saya harus
serius dalam berkuliah. Kuliah tidak hanya belajar di kelas perkuliahan, namun
lebih luas dari itu. Banyak softskill
yang bisa didapatkan di kampus, oleh karena itu saya harus aktif di aktifitas
kampus. Walaupun terkadang organisasi dapat menggangu waktu bersama, namun
orangtua mengerti bahwa itu baik bagi anaknya. Karena saya yakin, pelajaran
yang saya dapatkan tidak ada ruginya, ini akan bermanfaat bagi kehidupan
mendatang.
Menjadi Engineer, saya tempuh dengan memasuki
program studi Teknik Elektro. Saya menyukai eksakta, perhitungan, logika, dan
sebagainya. Melalui Teknik Elektro, saya memiliki bayangan awal ingin
berkonsentrasi pada pengembangan energi, yang tentunya murah dan ramah.
Disamping itu saya pun tertarik dengan sebuah tulisan tentang energi gratis dan
wardenclyffe tower dari seorang
ilmuwan, Tesla. Hal itu yang mendorong saya untuk semangat mengeksplorasi dunia
Teknik, khususnya elektro. Diikuti dengan kesadaran kita akan kemajuan jaman
serba otomatis dan canggih, yang biasa disebut milenial, yang tentunya tidak
terlepas dari elektro. Itu kontribusi yang saya harap bisa diberikan untuk
Indonesia. Walaupun bisa jadi, kenyataan yang saya terima seperti apa yang
terjadi pada tokoh panutan saya, Habibie, yang kurang dihargai di negeri
sendiri. Saya tidak ingin menjadi kuli di negara sendiri.
Menjadi Dosen. Hal
itu terbesit ketika bapak saya bilang bahwa saya pantas jika nanti menjadi
peneliti, lebih baik lagi jika dicapai dengan jalan menjadi dosen. Itulah yang
menjadi alasan saya mengapa saya berkeinginan pula menjadi dosen. Saya memang
tertarik untuk menjadi peneliti dan engineer,
namun dengan jalan menjadi dosen terpikirkan karena perkataan bapak saya.
Dengan menjadi dosen, saya bisa menjadi peneliti di Laboratorium, bisa menjadi engineer pula, dan bisa mengabdi kepada
negara melalui pendidikan. Kontribusi lengkap saya pikir dapat dicapai salah
satunya dengan menjadi dosen.
Dengan itu,
kewajiban saya sekarang adalah serius dalam mengasah hardskill dan softskill
di kampus. Sekalipun itu harus dilalui dengan jalan yang tidak mudah. Itu
semua, demi saya, keluarga, dan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar